[Al-Islam edisi 733, 12 Shafar 1436 H – 5 Desember 2014 M]
Hingga saat ini, berbagai elemen masyarakat masih terus
mengekspresikan penolakan mereka terhadap tindakan Pemerintah menaikkan
harga BBM. Namun demikian, ada juga tersebar atau sengaja disebarkan
berbagai anggapan yang ujungnya agar rakyat menerima, diam, pasrah dan
tidak melakukan penolakan atau protes. Di antaranya, anggapan bahwa
kenaikan harga BBM merupakan takdir sehingga harus diterima dengan
ikhlas. Kalaupun kenaikan harga BBM menyusahkan, anggap saja itu sebagai
musibah yang harus disikapi dengan sabar. Jika kenaikan harga BBM ini
menyulitkan, kita harus yakin bahwa rezeki itu di tangan Allah sehingga
tidak usah khawatir. Kenaikan harga BBM tidak perlu disikapi secara
reaktif, tidak perlu protes apalagi demo, karena Allah-lah yang
menentukan harga. Ada lagi ungkapan, “Buat apa protes dan demo,
toh tidak didengar. Tidak ada jaminan setelah protes dan demo lalu kebijakan itu dibatalkan dan harga BBM diturunkan.”
Berbagai anggapan di atas, selain tidak sesuai dengan tuntunan syariah, juga menyimpan bahaya besar bagi umat.
Mendudukkan Keyakinan dan Amal
Rezeki seorang hamba memang berada di tangan Allah. Dialah Pemberi rezeki.
﴿وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا﴾
Tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan dalam jaminan Allah-lah rezekinya (TQS Hud [11]: 6).
Allah SWT pun menjamin bahwa tidak seorang pun manusia akan mati
kecuali setelah rezekinya di dunia sempurna diberikan. Rasul saw
bersabda:
« أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَنْ يَمُوتَ حَتَّى يَسْتَكْمِلَ رِزْقُهُ …»
Hai manusia, sesungguhnya salah seorang di antara kalian tidak akan mati sampai rezekinya sempurna (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Majah).
Nas-nas ini dan yang semisalnya sesungguhnya semata-mata berkaitan dengan
keyakinan.
Intinya, manusia harus yakin bahwa rezeki itu ada di tangan Allah,
bahwa Allah-lah yang menjamin rezeki setiap makhluk, juga bahwa seorang
manusia baru akan mati ketika kuota rezeki yang ditetapkan oleh Allah
untuk dirinya di dunia telah sempurna diberikan.
Nas-nas tersebut tidak berkaitan dengan amal dan tidak menghukumi
amal. Menggunakan nas-nas di atas untuk mengatur dan menghukumi amal
tentu keliru dan tidak pada tempatnya. Apalagi jika nas-nas itu
digunakan untuk membenarkan sikap diam, pasrah dan pasif menyikapi
kenaikan harga BBM. Justru keyakinan terhadap rezeki Allah itu mesti
digunakan untuk membangun sikap aktif, menumbuhkan keberanian dan
ketegaran untuk terus melaksanakan ketaatan, melakukan amar makruf nahi
mungkar, menasihati dan mengoreksi penguasa serta menyampaikan
al-haqq di tengah masyarakat.
Sabar, Tidak Pasif
Bagi rakyat, kenaikan harga BBM oleh Pemerintah merupakan musibah. Secara bahasa
musibah artinya
apa saja yang menimpa kita.
Secara umum sesuatu yang menimpa itu disebut musibah jika menyebabkan
kesusahan. Kenaikan harga BBM itu jelas merupakan musibah yang
menyusahkan masyarakat.
Masalahnya, dikembangkan anggapan bahwa musibah kenaikan harga BBM
itu haruslah dihadapi dengan sabar, pasrah dan tidak perlu protes.
Anggapan itu kemudian didasarkan pada firman Allah SWT:
]وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ
وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ
وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ -الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم
مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ[
Sesungguhnya Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan,
kelaparan serta kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Sampaikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang
jika ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lilLahi wa inna ilayhi
raji’un.” (TQS al-Baqarah [2]: 155-156).
Ayat di atas memang memuji sikap sabar dalam menghadapi musibah.
Namun, mengeksploitasi sikap sabar untuk membangun kepasifan dan
kepasrahan tentu keliru. Ayat ini berbicara mengenai musibah yang lebih
merupakan
qadha’ dari Allah SWT. Ayat ini juga mendeskripsikan sikap
istirja’, mengembalikan sesuatu kepada Allah SWT. Itu merupakan cerminan dari keridhaan terhadap
qadha’
itu. Namun, ayat ini bukan berarti mensyariatkan untuk bersikap pasif
dan pasrah saja terhadap musibah. Ambil contoh, terhadap musibah berupa
sakit, yang merupakan
qadha’ dari Allah, syariah tidak
mensyariatkan agar kita pasrah saja, tetapi juga mensyariatkan untuk
berobat. Sabar itu adalah menerima dan ridha terhadap
qadha’
sekaligus diiringi dengan sikap aktif untuk mengubah keadaan dan keluar
dari musibah itu. Sikap sabar seperti itulah yang harus dikembangkan
dalam menyikapi musibah, termasuk musibah kenaikan harga BBM saat ini.
Di sisi lain, kenaikan harga BBM itu lebih merupakan musibah yang
menimpa akibat perbuatan manusia sendiri (QS asy-Syura [42]: 30).
Kenaikan harga BBM itu lebih merupakan
fasad yang digambarkan dalam firman Allah SWT:
]ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا
لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ[
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan
manusia supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat dari
perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar) (TQS ar-Rum [30]: 41)
Ayat ini sekaligus menunjukkan sikap yang seharusnya dalam menyikapi semua bentuk fasad, yaitu
kembali ke jalan yang benar. Bagi pembuat
fasad sikap itu adalah dengan menghentikan perbuatan
fasad itu. Itulah sikap yang harus diambil oleh Pemerintah sebagai pembuat
fasad itu.
Masyarakat juga mesti berusaha menghilangkan
fasad itu.
Untuk itu Islam mensyariatkan agar umat melakukan amar makruf nahi
mungkar serta menasihati dan mengoreksi penguasa. Tujuannya agar
penguasa segera menghentikan fasad itu dan kembali ke jalan yang benar.
Hal itu bukan sebagai sikap reaktif melainkan sebagai upaya memenuhi
kewajiban syariah. Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa saja
yang melakukan kewajiban itu. Bahkan andai orang yang melakukan itu
dibunuh oleh penguasa yang dia nasihati maka dia mendapatkan pahala
seperti yang diperoleh Hamzah bin Abdul Muthallib sebagai
sayidusy-syuhada (pemimpin para syuhada). Demikian sebagaimana dinyatakan dalam hadis Rasul saw. riwayat Imam Ahmad.
Harus Bersuara!
Jadi, fasad berupa kenaikan harga BBM itu harus disikapi dengan sabar
yang disertai dengan ikhtiar untuk mengubah keadaan. Sikap sabar yang
pasif dan diam terhadap kefasadan, selain tidak sesuai dengan tuntunan
syariah, juga mengandung bahaya besar. Sikap diam masyarakat akan
dimaknai oleh Pemerintah sebagai bentuk penerimaan dan dukungan
masyarakat atas tindakan fasad itu. Sikap ini akan membuat Pemerintah
makin berani membuat berbagai macam kefasadan yang lainnya.
Alhasil, umat harus bersuara dan tak boleh diam. Jika makin banyak
dari umat ini yang bersuara, jika jutaan orang menyatakan penolakan dan
protes termasuk dalam bentuk turun ke jalan, niscaya akan diperhatikan
dan boleh jadi membuat Pemerintah membatalkan kebijakan fasadnya itu.
Lebih dari itu, yang harus menjadi patokan, melakukan amar makruf nahi
mungkar serta menasihati dan mengoreksi penguasa merupakan kewajiban
dari Allah SWT kepada kita. Dalam hal itu, Allah tidak akan menghisab
kita apakah nasihat dan koreksi yang kita sampaikan itu digubris oleh
penguasa atau tidak. Yang justru bakal Allah hisab adalah sikap diam
kita terhadap kezaliman dan fasad yang dibuat penguasa.
Jika ada yang mengatakan bahwa mana ada penguasa yang berniat
menyusahkan atau menzalimi rakyatnya, maka ungkapan itu tidak perlu
diperhatikan. Sebab, dalam hal kefasadan itu, yang tahu niat dan
motivasi sesungguhnya adalah pelakunya dan Allah SWT. Yang harus dilihat
adalah kenyataan dari kefasadan itu dan dampaknya bagi umat. Kaidah
yang masyhur mengatakan, “
Nahnu nahkumu bi zhahir walLâh ya’lamu syarâ’ir (Kita menghukumi yang nyata dan Allahlah yang Maha mengetahui yang tersembunyi).”
Wahai Kaum Muslim:
Kita harus bersuara dan tak boleh diam! Kita harus bersuara:
Pertama,
dalam konteks amar makruf nahi mungkar serta menasihati dan mengoreksi
penguasa. Jika kita tidak melakukan ini maka bahaya besar akan
mengancam. Rasul saw. bersabda:
« وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوشِكَنَّ
اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ
يُسْتَجَابُ لَكُمْ »
Demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian melakukan
amar makruf nahi mungkar atau Allah akan menimpakan atas kalian sanksi
dari sisi-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan doa kalian tidak
dikabulkan (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).
Apalagi kefasadan berupa tindakan menaikkan harga BBM itu merupakan
bagian dari liberalisasi total migas. Itu jelas-jelas menyalahi syariah,
mungkar dan zalim.
Amar makruf nahi mungkar serta menghentikan kezaliman penguasa itu
pada dasarnya merupakan bentuk kasih sayang sekaligus untuk membantu
pihak yang zalim agar menghentikan tindakan zalimnya dan pihak yang
dizalimi agar terbebas dari kezaliman. Tujuannya, untuk menyelamatkan
semuanya dari kehancuran.
Kedua, kenaikan harga BBM ini hanya bagian dari banyak
kefasadan lainnya, yang pangkalnya adalah syariah tidak diterapkan untuk
mengatur kehidupan. Karena itu, selain bersuara dalam konteks yang
pertama itu, umat juga harus bersuara dalam konteks perjuangan aktif
untuk mewujudkan penerapan syariah secara total di bawah sistem Khilafah
Rasyidah
‘ala minhaj an-Nubuwwah. Dengan itu berbagai bentuk kefasadan bisa dihilangkan dan kerahmatan untuk semua bisa diwujudkan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb.
[]
Komentar:
Total pendapatan 141 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di
Indonesia–termasuk Pertamina—kalah dari pendapatan perusahaan minyak dan
gas asal Malaysia, Petronas. Padahal perusahaan ini dulu belajar dari
Indonesia (
Kompas.com, 2/12).
- Jangan dijadikan alasan memprivatisasi BUMN. BUMN bisa bagus dan
untung besar. Buktinya adalah Petronas, Singtel, BUMN-BUMN Tiongkok dan
masih banyak lainnya.
- Penyebab utamanya adalah kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak kepada BUMN dan tidak seriusnya perbaikan BUMN.
Sumber :
http://hizbut-tahrir.or.id/2014/12/03/sabar-yang-tidak-pasif/